»
»
»Cerpen Kelopak Bunga Biru

Cerpen Kelopak Bunga Biru

“Setiap kali kamu kangen sama aku kamu harus masukin satu kelopak bunga mawar kedalam botol ini.” Begitu pesanmu sebelum menaiki kapal. “Kalau aku udah pulang kamu kasih ke aku.” Aku selalu mengingatnya hingga kini. Aku juga selalu mengisi botol-botol kosong dengan kelopak bunga mawar, tapi aku belum bisa mengirimnya.


   “Pagi Dimas!” aku mengelap foto kami berdua yang diambil saat sebelum ia pergi naik kapal. “Hari ini aku ujian. Dan, aku kangen sama kamu.” Satu kelopak mawar yang ku ambil dari taman rumah ku masukkan dalam botol yang sudah terisi setengahnya.

Pagi ini cerah. Radiasi matahari terasa hangat di badanku. Andai kita bisa menikmatinya bersama-sama seperti dulu. Aku selalu mengharapkan hari-hari yang lalu dapat kembali terulang. Sudah lebih dari setahun aku selalu melewati jalan yang sama. jalan yang selama ini kita lewati ketika berangkat dan pulang sekolah. Hanya ini yang bisa ku lakukan agar aku merasa kamu dekat.

   “Lol! Lo gak bosen jalan muter mulu? Kan jadi jauh jalannya.” Kiki menghampiriku saat aku tinggal beberapa langkah lagi melewati gerbang sekolah. Aku hanya menggeleng dan kembali berjalan.
   “Loli! Udah setahun, apa lo belum bisa relain juga?”
   “Jangan bahas ini lagi. Biar gue lakuin apa yang gue suka.” Aku berjalan lebih cepat dan meninggalkan kiki di belakang.
   “Apa lo suka jadi gila?” aku pura-pura tidak mendengarnya. Namun sepertinya aku tidak bisa menghindar dari kiki. Bagaimanapun dia teman sekelas dan sebangku. Aku tidak bisa lari kemana-mana. “harus bagaimana? Bilang sama gue. Harus bagaimana?” kiki mendesakku di tempat dudukku.
   “gak usah bagaimana. Gak perlu ada yang di bagaimanain”
   “Sampai kapan? Sampai kapan lo gak mau nerima keadaan? Dimas gak akan kembali. Bagaimanapun dia gak akan kembali. Jangan bertingkah seperti dia bakal balik lagi!” Aku tak mampu menahan air mataku.
   “Kenapa harus orang lain yang kasian dengan hidup lo? Kapan lo mau kasihan sama hidup lo yang dibayang-bayangin orang yang udah meninggal?”

Aku gak sanggup untuk bicara sepatah katapun dihadapan kiki. Walau semua ucapan kiki terasa benar, tapi aku tidak mau menerima apa yang ia katakana. Dimas tetap akan hidup, dia akan kembali seperti janjinya. Hanya itu yang mau aku percaya. Aku tak sanggup berada di dekat Kiki. Dia terus memarahiku di depan umum. Tak perduli kiki mengoceh sekeras apa aku meninggalkannya di kelas. Dengan membawa tasku lagi, aku keluar dari kelas. Berjalan menuju gerbang sekolah yang belum ditutup dan melangkah menjauh dari sekolah.

***

Entah bagaimana dan aku harus kemana, aku sendiri pun tidak tau. Aku merasa terasing di dunia ini. Melangkah kemana pun sama. aku tetap merasa sendirian. Aku masih tidak bisa menerima angin itu berhembus di tanganku walau aku terus berusaha agar tetap merasakan genggaman tangan dimas. Tuhan, kembalikan Dimas padaku.

   “Jangan sedih, nanti kita bisa telpon-telponan.” Sebelum naik kapal kamu sempat bilang begitu. Rasanya sakit sekali saat melihat layar HP. Kamu gak pernah nelpon lagi. Gak pernah SMS lagi. Apa kamu sekarang sudah ahli membaut janji palsu. Sampai saat ini aku masih menunggu telpon dari kamu. Masih menunggu SMS dari kamu, walaupun itu hanya SMS kosong.

Tanpa terasa setelah menaiki bis berkali-kali dan pindah terminal lebih dari dua kali aku kakiku berlabuh di sebuah tempat wisata. Disana ada pantai. Tepian laut yang membawa dimas selama-lamanya. Tempatnya masih sepi. Masih terlalu pagi untuk mereka yang ingin kepantai. Aku hanya melihat beberapa orang yang berlari-lari kecil menyusuri bibir laut.

Kakiku terhenti dan kulepas sepatuku. Sesekali kakiku terkena air laut. Merasakan buih dari ombak yang menghempas kakiku. Aku gemetar dari ujung kaki hingga kepalaku. Air laut ini membuatku merasakan dimas di sini. Pipiku basah, air mataku mengalir begitu saja dan tak bisa ku kendalikan.

Sebuah botol plastik bekas minuman menyentuh kakiku. Botol itu terbawa ombak. Awalnya aku tak perduli. Namun entah dari mana, rasanya ada yang menggerakkan hatiku untuk terus mengambil botol itu. Di dalamnya ada kertas. Ku buka botol itu dan ku ambil kertas yang menggulung di dalamnya. Dengan tanganku yang gemetar ku baca sebuah puisi yang tertera di kertas itu.

Rasanya begitu pagi untuk mengucapkan selamat tinggal.
Namun rasanya Tuhan telah berbisik di jantungku.
Kata selamat tinggal, sebuah kata yang tak akan sanggup kukatakan padanya.
Namun rasanya Tuhan ingin aku mengucapkannya.
Kata selamat Tinggal, biarlah ombak ini yang mengirimkanya.
Karna aku tak sanggup mengatakannya.

Dimas

Aku tak mampu berkata apa pun. Air mataku mengalir begitu saja. Dimas. Begitu yang tertulis di pojok kanan dari kertas yang kuambil dari botol plastik. Rasanya aku tidak mau percaya, pesan ini seolah untukku. Apa benar ini untukku? Apa mungkin? aku hanya dapat memandangi kertas ini.

***

Dengan kebimbanganku, aku membawa pulang kertas dari dalam botol tadi. Sesampainya di rumah aku tak punya pikiran untuk meninggalkan kamarku. Aku hanya terbaring di atas kasurku dan menatap kertas itu.
Aku terus membacanya dalam hatiku. Namun, setiap kali aku membacanya aku seperti sedang mendengar Dimas yang membacakannya untukku. Seperti merasakan kehadiran Dimas yang terasa lebih dari sebelumnya. Ia seperti duduk di sebelahku yang tengah berbaring. Membelai rambutku. Wajahnya terlihat sedih saat membacakan puisi itu untukku.

“Rasanya begitu pagi untuk mengucapkan selamat tinggal. Namun rasanya Tuhan telah berbisik di jantungku. Kata selamat tinggal, sebuah kata yang tak akan sanggup kukatakan padanya. Namun rasanya Tuhan ingin aku mengucapkannya. Kata selamat Tinggal, biarlah ombak ini yang mengirimkanya. Karna aku tak sanggup mengatakannya.” Matanya basah. Ingin sekali aku membelai lembut wajahnya dan memeluknya, tapi aku tak mampu bergerak sama sekali. aku hanya menonton apa yang ia perlihatkan padaku, hanya mendengar apa yang ia katakana padaku. Bahkan aku tak mampu untuk berbicara padanya.

“Jangan begini. Maaf aku tinggalin kamu. Ini bukan kehendak aku. Tuhan yang membuat keputusan kita cuma berjodoh sampai di sini. Aku sayang kamu. Aku ingin kamu bahagia. Dengan kamu bahagia, aku pun bahagia.” Tanannya membelai rambutku. Yang terakhir sangat pelan. Perlahan dimas seolah memudar dan transparan. Aku tak dapat melihatnya lagi dan aku tak bisa merasakannya ada seperti tadi.

   “Loli! Loli! Bangun! Makan dulu! kamu belum makan dari pulang sekolah!” Teriakan dan gedoran pintu membuatku sadar aku baru saja bermimpi. Kucari kertas yang tadi ku bawa pulang, tapi aku tidak dapat menemukannya.
   “Tadi ada di sini. Kemana?” Aku membongkar selimutku dan mencari ke semua laci yang ada di kamarku.
   “Loli! Kamu udah bangun?!”
   “Ya ma!” Aku masih mencari “Bentar lagi aku kebawah!” Sedah kucari sampai kesudut terkecil dari kamarku, namun kertas itu seperti ditelan bumi. Berkali-kali kucari, hingga lebih dari dua kali kucari ditempat yang sama. aku masih belum menemukannya. Mungkin tidak bisa lagi kutemukan.
   “Loli! Turun sekarang!” Teriak mama dari ruang makan.
   “Ya ma!” Baiklah, pencarian dihentikan.
   “Mau makan aja pake di teriakin!” Gerutu mama saat aku sampai di ruang makan. Kulihat meja makan sudah penuh dengan makanan. Tapi melihatnya aku tidak selera. Pikiranku masih berusaha mencari-cari diamana kertas itu. Mungkin aku lupa meletakkannya di mana.

Tak ada yang kubicarakan di meja makan. Aku hanya menggunakan mulutku hanya untuk makan. Selasai makan aku kembali kekamarku. Kembali mencari kertas yang sebelumnya juga telah kucari. Tiga kali, setelah tiga kali aku mencari dan kamarku sudah tidak dapat disebut kamar lagi, aku tidak bisa menemukan kertas itu. Apa aku hanya bermimpi membawa kertas itu pulang? Tidak, aku sangat yakin kertas itu kubawa pulang.\
Kamarku yang berantakan tidak langsung kubereskan. Aku terlalu lelah mencari sampai tidak punya tenaga untuk merapikanya kembali. Aku terduduk dilantai kamarku. Mataku tertuju pada sebuah kardus yang ada di bawah kasurku. Itu adalah kardus tempat aku menyimpan botol-botol yang sudah penuh dengan kelopak bunga mawar.

Ku tarik keluar kardus itu. Walau rasanya tidak mungkin ada disana, aku tetap mencoba memeriksanya. Ku keluarkan satu persatu botol-botol itu. Saat mengeluarkannya kembali aku terngiang dengan puisi yang tertulis di kertas. Aku teringat kembali dengan apa yang dikatakan Dimas dalam mimpiku. Berkali-kali melintas dipikiranku. Mataku jadi panas dan berair. Air mataku membasahi pipi dan menetes mengenai tutup dari botol yang ku pegang. Aku menjerit dalam hati. Menangis sepuasnya. Dan, kini aku mampu merelakannya pergi.

***

Semalam aku tak punya tenaga untuk membereskan kamar. Di pagi buta aku sudah bangun untuk membereskannya. Botol-botol yang berisi kelopak bunga itu ku masukkan kembali kedalam kardus. Begitu juga dengan botol yang belum penuh yang ada di atas meja belajar dan foto-foto aku dan dimas yang selama ini ku simpan.

Selesai mandi dan berpakaian lengkap, sebelum mama dan papa bangun, aku pergi ke pantai tempat aku menemukan kertas kemarin. Saat matahari terbit ku lemparkan satu persatu botol-botol dan semua kenanganku bersama Dimas, yang kubawa dalam kardus, ke laut. Aku tidak menghilangkannya dari hidupku, aku hanya merelakannya pergi dan kuharap semua rasa rinduku yang tersimpan di setiap kelopak bunga mawar dapat samapai pada Dimas disana.

Bantu kami menyebarkan artikel diatas dengan menekan tombol LIKE / Tweet / Plus 1. Terima kasih
"Cerpen Kelopak Bunga Biru " was posted by: Kumpulan Puisi-Puisi Menarik blogs, under category and permalinks http://toppuisi.blogspot.com/2013/09/cerpen-kelopak-bunga-biru.html. Ratings: 1010 Votings: 97,687, , Jumat, September 20, 2013.

Comments :