»
»
»Lebaran Yang Tak Datang

Lebaran Yang Tak Datang

Sudah tiga kali lebaran dia gak mudik. Hidupnya sudah seperti lirik dangdut saja. Tiga kali puasa, tiga kali lebaran dan gak pulang-pulang. Itu juga lagu yang selalu dia dendangkan menjelang lebaran ini. Yah, mungkin merasa lirik lagu itu pas dengan dirinya. Sampai-sampai, dalam sehari bisa berulang-ulang kali diputarnya lagu itu. Berbalut short dan tanktop, tubuhnya meliuk-liuk mengikuti musik sambil tak henti mulutnya bernyanyi. Terkadang goyangannya seperti tak terkendali. Diangkat salah satu kakinya dan diletakkan dibibir ranjang. Tangannya diacung-acungkan sambil memutar-mutar kepalanya. Rambutnya yang tergerai mengikuti ritme itu. Dia seperti kuda binal yang siap dilecut. Goyang versi alat berat semuanya sudah dia keluarkan. Dari goyang ngebor, ngecor, gergaji sampai patah-patah. Namun dia seperti tak kehabisan tenaga. Hanya aku yang terpingkal-pingkal melihat ulahnya. Namun kami tersentak begitu mendengar pintu digedor dari luar.


“Cisca.........Evi.......buka pintunya”, teriakan dari luar itu seakan menjebol pintu. Keduanya saling berpandang. Ia langsung mematikan dentuman musik koplo itu.

“Weleh.....Vi, ngopo toh mbokmu kui. Ganggu kesenangan orang saja”, protesnya.

“Yah....koe iku sing koyo kesetanan, pantes aja dia marah. Sudah sana, buka pintunya”, perintahku.

Perlahan-lahan dibukanya pintu kamar itu. Dua lelaki berbadan tegap mengapit seorang wanita dengan dandanan glamour berdiri didepan pintu kamar. Kami memanggilnya Mami. Wanita itu sudah tidak muda, namun juga tidak terlalu tua. Mungkin karena dia pandai bersolek. Sehingga kerut-kerut diwajahnya tak jelas terlihat. Aku benci aroma parfumnya. Menyengat. Tatapan wanita itu serta dua bodyguard yang menemainya tampak tak bersahabat.

“Hei....kalian ini mau diingatkan berapa kali sih. Kamu lagi, suaramu itu udah gak enak didenger, pake teriak-teriak lagi. Mengganggu, tau? Bisa-bisa tamu-tamu disini pulang semua. Kamu mau bikin aku kere apa?” , semprot wanita tambun itu.

“Yah...maaf, Mi. Kita cuma lagi suntuk koq. Jadi butuh hiburan.”

“Gak pake hibur-hiburan. Kalian disini tuh buat kerja. Bukannya sante-sante”, logatnya lebih kampungan ketimbang kami yang benar-benar anak kampung.

Kami yang tadinya larut dalam canda, hanya tunduk pasrah. Tak ada lagi sepatah kata terlontar. Kami hanya menerima itu sebagai sebuah kesalahan dan berharap tak ada hukuman untuk kesalahan itu.

“Ingat ya, kalau kalian males-malesan, kalian gak akan pernah bisa membayar hutang-hutang kalian itu. Sepuluh tahunpun kalian kerja disini, belum tentu bisa membayar hutang-hutang kalian. Ingat itu!”, ucap sang mami sambil berlalu dan menyisakan cibirannya.

Cisca menyeret langkahnya gontai dan merebahkan tubuhnya diatas ranjang. Tak ada sorot bahagia seperti saat dia menari-nari tadi. Dilingkarkan sebelah tangannya diatas perutku yang terebah disampingnya.

“Vi....aku mau kabur”, bisiknya ditelingaku.

“Gila kamu”, balasku sambil meliriknya.

“Aku akan lebih gila kalau terus-terus disini”.


****

Untuk ukuran kampung kecil, rumah itu terlihat lebih mencolok dari rumah-rumah lainnya. Bisa dibilang hanya rumah itu yang berpagar tembok, sementara rumah lain disekitarnya hanya berpagar bambu dan kembang kantil yang dipotong sepinggang orang dewasa agar tak menjulang menutupi rumah. Perpaduan warna yang manis antara tembok putih dan kusen yang dicat hijau muda. Sangat menyatu dengan alam pedesaan yang segar. Namun rumah itu tak luput dari kerinduan. Dalam kesibukan aktivitas menjelang lebaran, ada sosok yang diharapkan hadir ditengah-tengah para penghuni rumah.

“Bu, sudah tiga kali lebaran ini mbak Sis ndak pulang. Apa dia ndak kangen sama kita lagi, Bu?”, wajah manis usia remaja itu bertanya pada sosok wanita setengah baya yang dipanggilnya ibu.

“Mbak Sis pasti kangen sama kita semua, nduk. Cuma mungkin dia lagi sibuk, jadi ndak bisa pulang. Kalau mbakyumu itu ndak kangen dan dan ndak ingat lagi sama kamu, ndak mungkin dia ngrimi ibu uang buat beli motor kamu. Supaya kamu ndak capek lagi kalau sekolah. Iya toh?”, suara wanita itu lembut dan terdengar bijak.

Keduanya lalu berpelukan. Pelukan yang hangat, dalam dan penuh pengharapan. Mereka berharap sosok yang dibicarakan itu akan hadir ditengah-tengah mereka pada lebaran tahun depan. Tak ada yang lebih indah dalam lebaran selain sebuah kebersamaan. Dan itu menghanyutkan keduanya dalam desiran air mata.

****

Kupikir dia nekat. Siapa juga yang akan bertahan hidup seperti ini. Aku dan dia adalah orang-orang yang terjebak. Aku selalu punya keinginan untuk lepas dari penjara ini. Tapi, aku tak punya keberanian seperti dia. Membayangkan untuk kabur saja aku tak berani. Aku tak kuat bila nanti kalau ternyata aku gak berhasil kabur aku bakal digilir oleh bodyguard-bodygardnya Mami. Belum lagi sebatan tali pinggan yang segeda gaban. Itu gak akan segan-segan dilakukan mami sampe kita pingsan. Kalau sudah pinsan, belum tentu dia mau berhenti menyiksa. Sudah disiapkannya seember air buat menyadarkan yang pinsan. Kalau dibanguninnya cukup diusap dengan air sih masih enak, tapi gak begitu. Dia bakal nyiram. Amit-amit deh. Aku pernah melihat itu semua. Waktu Mila ketangkep mau melarikan diri. Bayangan itu gak pernah hilang dari ingatanku. Keinginan untuk lari dari tempat ini, gak sekuat ketakutanku melihat penyiksaan yang Mila alami. Dan sekarang Cisca mulai nekat.

“Kamu serius?”, tanyaku memastikan.

“iya”

“Gak takut?”

“Gak, toh sama saja Vi, kita juga bakal membusuk disini. Kamu harus bantu aku ya?”

Aku tidak mengiyakan. Tapi juga tidak menolak. Hanya senyum tipis yang bisa kuberikan atas kenekatannya. Aku berharap semua akan berjalan baik-baik saja. Sebelum mata kami terpejam, lirih suaranya kudengar, “Vi, kamu tau gak kenapa bang thoyib gak pulang-pulang?.”

Aku malas membalas pertanyaan itu. Kupikir dia pasti sudah terkena sindrom bang thoyib. Kasihan, dia berharap bisa merasakan lebaran bersama keluarganya dikampung. Dia pernah cerita, kalau setiap uang yang dikirimnya kekampung itu sudah jadi motor, rumah, dan kambing tiga ekor. Tapi itu semua tak membuat ia merasa lega. Justru ia merasa sangat bersalah sama bapak ibunya. Yang orang tuanya tau, dia disini kerja disalon, tungkas pangkas rambut. Padahal sebenarnya cuma jadi, lonte. Aku juga tidak sanggup menyimpan sebutan itu terlalu lama dikepalaku. Bukan cuma dia yang harus dikasihani. Semua perempuan disini bernasip sama. Termasuk aku. Kupalingkan wajahku ke tembok. Dia masih samar bernyayi disebelahku. Tapi aku sudah tak kuat menahan mataku. Kubiarkan lelap itu datang.

******

Mataku masih terasa berat. Namun suara yang kudengar memaksaku untuk segera bangun. Aku mengenal suara itu. Ya ampun, itu suara Siswatun alias Cisca teman sekamarku. Disini semuanya bisa berubah, bahkan terkadang kami tak mengenali diri kami sendiri. Suara itu semakin jelas melewati kamarku. Teriakannya histeris, aku mulai berpikir sesuatu yang buruk terjadi pada temanku itu. Aku keluar dari kamar, dan kulihat teman-teman yang lain sudah berdiri dipintu kamar mereka masing-masing. Kudekati sumber suara itu, semakin lama semakin jelas. Dia meraung-raung kesakitan, dan kulihat tubuhnya sudah terkapar dilantai. Aku mendengar teriakan terakhirnya saat kepalanya dibenturkan ke tembok. Darah meleleh dari ujung keningnya. Setelah itu dia tak bersuara lagi. Langsung kutangkap tubuhnya yang ambruk. Nafasnya satu-satu. Mami dan kedua bodyguard-nya sinis menatapku. Aku tau, mereka gak setuju dengan apa yang kulakukan.

“Hei...Evi, lihat temanmu itu. Kamu mau seperti dia, heh? Coba saja kalau berani”, Mami malah berbalik memarahiku.

Kupandangi wajah temanku ini. Penuh lebam dan dingin. Sesekali dia nyengir menahan sakit. Bibirnya bergetar seperti mau mengucapkan sesuatu.

“Evi.....kamu masih ingat pertanyaanku kemarin?”, tanyanya

“Apa?”, balasku

“Kenapa bang Thoyib gak pulang-pulang?”.

Juangkrik! Anak ini masih bisa bercanda. Sekali lagi, aku malas menjawab pertanyaanya itu. Aku mencoba mengangkat tubuhnya, tapi dia menahannya.

“Dengarkan aku , Vi. Bisa jadi bang Thoyib sudah membusuk. Kamu juga kalau lama-lama disini bisa membusuk”, ucapnya terbata.

Setelah itu aku tak mendengar suaranya lagi. Tubuhnya semakin dingin. Kugoncang-goncang tubuhnya berharap dia akan sadar. Tapi dia tak bergerak sedikitpun. Mami menggerakan kepalanya sekaan memberi perintah kepada bodyguard-nya. Mas Jack, pria bertubuh besar dan tegap itu menempelkan jarinya keujung hidung Cisca.

“Gak bernafas, bos”

“Bungkus!”, instruksi itu tegas diberikan oleh Mami.

Kedua bodyguard itu merampas Cisca dari pelukanku. Aku tak bisa melawan. Hanya pasrah tersingkir dan terkulai. Aku hanya bisa melihat tubuh kaku Cisca dibungkus seprei tak beraturan. Darah yang meleleh dari luka-lukanya menembus seprei. Lalu kedua pria itu menggotongnya keluar. Aku tak tau akan dibawa kemana dia. Hanya rasa bersalah yang terasa begitu sesak didadaku. Maaf teman, aku tak bisa berbuat banyak untukmu. Suasana hening, kuayuankan langkahku kembali kekamar. Aku telentang diatas ranjang. Samar kudengar lagu yang selalu dinyanyikan Siswatun alias Cisca dari kamar Mila.

Tiga kali puasa, tiga kali lebaran
Abang tak pulang-pulang
Sepucuk suratpun tak datang

Bang thoyib.......bang thoyib............
Kenapa tak pulang-pulang......
Bantu kami menyebarkan artikel diatas dengan menekan tombol LIKE / Tweet / Plus 1. Terima kasih
"Lebaran Yang Tak Datang " was posted by: Kumpulan Puisi-Puisi Menarik blogs, under category and permalinks http://toppuisi.blogspot.com/2013/08/lebaran-yang-tak-datang.html. Ratings: 1010 Votings: 97,687, , Senin, Agustus 12, 2013.

Comments :