»
»
»Melukis Pelangi

Melukis Pelangi



Hujan kembali membasahi sosok tubuh mungil yang tengah berlari sendiri mengitari lapangan sekolah. Terdengar suara saling berbisik antara anak yang satu dengan yang lain. Banyak anak yang menyaksikan tubuh kecil itu berlari di bawah guyuran hujan yang deras. Dan mereka hanya membisukan kaki mereka di bawah gedung yang terlindung dari air hujan.
Nesa, anak XI IPA 3. Nesa anak yang suka bikin onar. Nesa anak yang suka ngelawan guru. Anak yang penuh segudang poin pelanggaran. Nesa anak yang sudah dicatatkan di buku hitam. Nesa, anak yang tinggal menunggu keputusan kepala yayasan untuk dikeluarkan. Dan Nesa, anak yang seluruh satu sekolah sudah mengetahui kebengalannya.
Semua anak tak ada yang berani menegurnya. Tak ada anak yang mau jadi temannya. Semuanya lebih memilih menghindar daripada berurusan dengan bagian BK.
Kali ini, Nesa dihukum oleh pak Sardi, bagian kesiswaan. Bukan lagi masalah sepele yang sudah dilakukan oleh cewek bengal itu. Kali ini, Nesa dengan beraninya meninju pak Andi, guru biologi yang sudah berbuat senonoh pada salah satu muridnya yang terkesan pendiam.
Sikap Nesa yang tak ingin ada pelecahan di sekolahnya pun langsung menonjok pak Andi di depan semua anak-anak kelas XI IPA 3. Dan seketika itu, pak Sardi, bagian kesiswaan yang kebetulan lewat di kelasnya langsung menarik lengan Nesa dan menyuruhnya berlari 100 kali di lapangan basket. Apalagi hari ini mendung dan hujan turun dengan deras. Membuat hawa dingin menyeruak ke seluruh kulit Nesa sampai ke tulang-tulangnya.
Meski bengal, banyak anak yang simpatik pada dirinya. Tapi kebanyakan dari mereka lebih memilih mendukung Nesa dari belakang daripada menunjukkannya secara blak-blakan.
“Kasihan ya, Nesa? Pak Sardi memang keterlaluan! Dia nggak nanya dulu apa sebabnya Nesa mukul pak Andi?” Tukas anak yang tengah menyaksikan hukuman Nesa.
“Hus. Pelan-pelan ngomongnya. Nanti ketahuan pak Sardi!” Temannya mengingatkan.
“Tapi bener kan? Nesa nggak sepantasnya dihukum seperti itu? Lagian…”
“Apa kamu bisa menolongnya? Dengan membela Nesa di depan pak Sardi?”
Dan mereka hanya kembali diam dan mengunci rapat-rapat isi hati mereka.
Di bawah guyuran hujan, Nesa berlari dengan santainya. Ia tak merasakan sedikit pun lelah atau kesal pada pak Sardi. Wajahnya memancarkan kepolosan yang riang. Matanya yang teduh dan bersinar memancarkan kehangatan. Serta bibir mungil merah jambunya selalu menyunggingkan senyum bak malaikat.
Semua orang suka itu. Tapi mereka tak berani mengatakannya di depan Nesa. Mereka semua takut, takut pada kekuasaan seseorang yang bisa berakibat fatal bagi mereka.
Fadil, anak sang donatur yayasan tertinggi sudah seperti raja di SMA Wisma Bakti. Semua anak tunduk pada perintahnya. Tentu saja kecuali Nesa, yang dijuluki anak bengal. Cowok manis tinggi (seperti Lee Min-Ho dalam serial korea BBF), yang juga jago main basket ini benci setengah mati sama Nesa. Dan entah apa alasan yang membuat cowok yang paling populer di sekolah itu membenci cewek yang paling bengal di sekolah.
“Kasihan juga ya dia. Sudah baik, eh malah dihukum.” Tukas Rizal, teman Fadil. Sebenarnya nggak pantes dibilang teman, karena ia seperti kacung Fadil yang sering disuruh ini itu dan selalu berjalan di belakang majikannya.
“Biarin saja. Biar dia tahu, di sekolah ini sudah tidak ada yang membelanya lagi. Semua sudah membencinya termasuk pak Sardi.” Sahut Fadil yang juga ikut menyaksikan hukuman Nesa. Matanya terus menatap ke arah Nesa. Dalam hatinya belum puas melihat hukuman yang diterima Nesa. Ia ingin anak itu lebih menderita dari ini. Dan ia pasti bisa mencari cara untuk membuat Nesa lebih menderita dari ini.
Nesa terus berlari. Ia tak peduli semua anak satu sekolahan menyaksikannya. Ia malah senang mendapat hukuman 30x lari mengitari lapangan, apalagi di hujan-hujan kayak gini. Menurutnya itu malah membuat badannya lebih sehat.
Sekilas ia melirik Fadil. Ternyata cowok itu tengah menatap ke arahnya. Sehingga membuat pandangan mereka bertemu dan beradu. Fadil memancarkan kebencian di matanya. Tapi Nesa malah sebaliknya. Ia tersenyum, tersenyum pada orang yang menjadikannya musuh besarnya.
Satu minggu kemudian…
Fadil mengalami kecelakaan motor saat mencoba menghindari seorang pejalan kaki yang menyeberang sembarang. Akibatnya motor ninja hitamnya menabrak pembatas jalan dan tubuhnya terpental sejauh lima meter. Akibat kecelakaan itu mata Fadil tak bisa melihat lagi. Ada kerusakan di kornea matanya akibat pecahan kaca helmnya. Dan itu tak bisa disembuhkan dengan operasi saja, tapi juga membutuhkan donor mata.
Fadil sempat mengalami shock berat saat tahu ia tak bisa melihat lagi. Ini tandanya ia buta. Dan keadaannya berubah drastis. Dari Fadil yang super ganteng menjadi Fadil yang buta. Yeah BUTA! Kata itulah yang akan didengarnya ketika ia bertemu dengan teman-temannya ataupun orang lain. Berbagai macam kalimat hinaan sudah terngiang-ngiang indah di telinganya. Seberapa kaya dan berkuasanya orang tuanya, nyatanya tak mampu membuat Fadil bisa kembali melihat.
“Lalu untuk apa aku hidup?” itulah kata-kata yang terlontar di mulut Fadil saat orang tuanya tak menemukan donor mata yang cocok dengannya.
Tak satu patah kata pun yang keluar dari mulut orang tua Fadil. Kini mereka sadar, kekayaan dengan uang banyak dan jabatan tinggi tak mampu membuat putra semata wayangnya bisa kembali seperti dulu, kembali bisa melihat. Dan selama ini ia merasa bersalah telah membesarkan Fadil dengan memanjakannya.
Setelah satu minggu Fadil dirawat di rumah sakit. Kini ia mulai masuk sekolah lagi. Dan di sampingnya masih ada Rizal yang setia menemani dan membantu Fadil mengerjakan sesuatu. Tak jarang teman-teman yang lain saling berbisik tentang keadaan Fadil. Dan tak jarang pula banyak murid yang tak menyukai sikap Fadil, suka mengerjai Fadil. Tentu saja Fadil tak bisa membalas mereka dengan keterbatasan penglihatannya untuk membantunya bergerak. Dan dengan keadaan butanya, Fadil masih saja sama seperti dulu, dengan sikap sombong dan sok berkuasa. Bahkan masih aktif memarahi orang. Dan kali ini Nesa yang kena semprotannya.
Saat berjalan di koridor setelah dari kantin, Nesa tak sengaja menabrak Fadil. Begitu tahu Nesa yang menabrak dirinya, Fadil langsung memarahi Nesa panjang lebar.
“Apa kau kira karena sekarang aku buta kau berniat balas dendam padaku?” teriak Fadil yang mampu membuat seantero sekolah mendengar teriakannya.
“Tidak. Aku tak berniat balas dendam padamu. Lagipula untuk apa aku melakukan itu, sementara aku tak tahu apa alasannya aku harus balas dendam padamu.” Sahut Nesa tenang.
Tapi Fadil mengartikan lain ucapan dan sikap tenang Nesa. Ia menganggap Nesa sama seperti anak-anak yang lain yang tengah mengerjainya karena sekarang ia buta. Atau mungkin menghinanya.
“Dengar kau anak badung. Kali ini kau memang menang, tapi lihat saja nanti kalau aku sudah bisa melihat lagi. Akan kubalas perbuatanmu hari ini padaku. Akan kubuat kau lebih menyakitkan dan menyedihkan dari apa yang sudah kau lakukan padaku.” Ketus Fadil sengit.
“Fadil!” teriak Nesa. “Sebenarnya apa salahku sampai kau membenciku sebegitu besar? Sungguh aku tak ingin bermusuhan terus menerus denganmu. Kalaupun kau menyuruh aku mengatakan kalah padamu untuk tidak membenciku, akan kulakukan itu…”
“Berikan matamu padaku!” teriak Fadil memotong kalimat Nesa.
“Apa?!” seru Nesa bingung.
“Berikan matamu padaku. Baru aku merasa senang melihatmu buta!” selepas menyelesaikan kalimatnya, Fadil berjalan pergi dengan dibantu Rizal.
Nesa masih berdiri di tempatnya. Kedua matanya menatap lurus punggung Fadil. Dan di wajahnya, tak terlihat kemarahan sama sekali. Bahkan senyuman manis terlukis di bibirnya.
“Itu yang kau inginkan Fadil?” lirihnya di tengah gemuruh bisikan anak-anak yang menggosip selepas peristiwa tadi.
Fadil terlihat senang. Sebentar lagi dia akan bisa melihat lagi. Yeah sebentar lagi ia akan bisa melihat dengan mata barunya yang tiga hari lalu di terimanya. Dan sebentar lagi ia bukan Fadil yang buta. Dan sebentar lagi ia tidak akan lagi mendengar bisik-bisik ‘Fadil buta’ yang selama dua minggu disandangnya. Sebentar lagi, ia akan menjadi Fadil yang bisa melihat.
Perlahan-lahan kedua matanya dibuka. Sensasi pertama yang didapatinya adalah rasa perih. Kata dokter itu sudah biasa bagi pasien yang baru operasi mata. Samar-samar ia melihat cahaya. Kemudian dipejamkannya kembali matanya dan ia kembali membuka matanya. Kini wajah orang tuanya yang terlihat cemas terlihat jelas di bola matanya. Fadil tersenyum dan berkata.
“Papa-Mama, aku sudah bisa melihat lagi.” Ucapnya senang.
Kedua orang tua Fadil menghambur pada Fadil dan memeluknya bergantian. Terdengar tawa bahagia orang tuanya.
“Kau harus berterima kasih pada orang yang sudah mendonorkan matanya untukmu. Karenanya kau bisa kembali melihat. Bisa kembali melihat Papa dan Mama.” Ucap mama Fadil setelah melepaskan pelukannya dari putranya. Namun satu detik kemudian, Fadil melihat wajah sedih mamanya. Dan Fadil urung menanyakannya.
Dengan senyum penuh kemenangan Fadil memasuki pelataran sekolah. Dalam pikirannya sudah tersusun rapi rencananya untuk menyidang anak-anak yang menghinanya sewaktu ia masih buta. Tapi sekarang ia sudah bisa melihat lagi. Dan sekarang waktunya untuk memberi pelajaran pada mereka yang mengejeknya.
Memasuki selasar sekolah, Fadil menerima tatapan sinis dari teman-temannya. Dengan gaya khasnya, Fadil membalas plototan teman-temannya.

“Apa lu!” bentak Fadil. Namun Fadil merasa heran dengan sikap teman-temannya yang tak membalas. Justru mereka terkesan mencoba mengindarinya.
“Fadil!” seru Rizal dan mnghampiri Fadil. “Ayo ikut aku.”
Tanpa bicara Fadil mengikuti Rizal. Fadil heran kenapa dia diajak ke belakang sekolah. Dan ia terkejut melihat gundukan tanah yang masih merah. Ada nisan di atasnya yang bertuliskan ‘Vanesa Saputri’ yang tak lain nama panjang Nesa.
“Apa ini?” tanya Fadil dengan nada heran pada Rizal.
“Fadil,” panggil Rizal dengan nada pelan. “Sekarang Nesa sudah tidak ada lagi di antara kita. Dia sudah meninggal. Dan di sinilah ia dimakamkan.” Jelas Rizal dengan sedih.
“Apa maksud kamu, Nesa sudah meninggal?!” tanya Fadil tak percaya mendengar apa yang dikatakan Rizal.
“Tiga hari yang lalu Nesa masuk rumah sakit karena kanker. Dan tidak lama kemudian dia meninggal. Lebih menyedihkan lagi, kami semua termasuk para guru tidak mengetahui kalau Nesa ternyata sebatang kara yang dibuang oleh orang tuanya semenjak bayi. Ia diasuh dan dibesarkan di panti asuhan. Tapi pihak sekolah meminta pihak rumah sakit dan panti asuhan untuk memakamkan Nesa di sini. Karena kami semua tak ingin Nesa merasa sendiri lagi. Ia masih punya kita yang akan selalu menyayanginya.”

“Dan kami semua minta padamu untuk memaafkan semua kesalahan Nesa serta kau mau menganggap Nesa bagian dari dirimu, Fadil.” Tiba-tiba pak Sardi nongol di balik punggung Fadil. Seluruh penghuni sekolah pun ikut berdiri di belakang guru BP itu. “Sebelum meninggal, Nesa meminta kepada Bapak untuk mendonorkan matanya untukmu. Ia bilang, ‘Aku akan memberikan mataku untuk Fadil. Aku ingin ia bisa melihat betapa indahnya warna pelangi yang paling kusuka.’ Ia berkata sambil tersenyum.”
“Apa?!” seru Fadil miris. Ia pun mendekati pusara Nesa sambil menitikkan air mata. Sekarang ini ia tak peduli semua orang melihatnya menangis. Sekarang ia hanya merasa bersalah dan menyesal telah memperlakukan Nesa seperti musuhnya, sementara gadis itu telah memberikan matanya pada dirinya.
“Kau tahu, kau telah melukis pelangi di sekolah ini dengan hati baikmu. Jujur, aku tak ingin bermusuhan denganmu. Justru aku ingin menjadi temanmu. Tapi aku terlalu gengsi untuk mengatakannya. Maafkan aku Nesa.” Liirih Fadil sambil menangis.
Dan pagi itu, langit telah melukis pelangi dengan pena titik-titik kecil berupa gerimis. Menuangkan warna selendang sutera yang cerah di atas kanvas biru itu. Membentuk senyum indah di setiap ujung sisinya. Yang selalu mengabadikan senyuman manis Nesa, yang tak pernah terkubur. Walau jasad telah terpisah oleh kematian.
Bantu kami menyebarkan artikel diatas dengan menekan tombol LIKE / Tweet / Plus 1. Terima kasih
"Melukis Pelangi " was posted by: Kumpulan Puisi-Puisi Menarik blogs, under category and permalinks http://toppuisi.blogspot.com/2013/09/melukis-pelangi.html. Ratings: 1010 Votings: 97,687, , Senin, September 30, 2013.

Comments :