Anakmu dikepung rasa sia-sia,
rasa bersalah, rasa amat kotor,
rasa
banyak bacot, rasa tak berbuat dan Ibu duduk abadi di hadapan jiwaku,
dengan senyum yang bagai tak tertanggungkan.
Mestinya anakmu bertugas menulis buku, dan ia telah tuangkan rangka beserta judul-judulnya yang seram.
Tapi begitu jijik ia kepada dirinya sendiri.
Untuk apa semua reka-reka intelektual itu,
sesudah sekian ratus tulisan berakhir sebagai tulisan itu sendiri?
Buat apa ia melesat begitu tinggi ke langit-langit pikirannya,
untuk
kemudian kaget ketika menatap sekelilingnya,
dan meludah tatkala
menemukan wajahnya sendiri di kaca?
Apa arti semua kesibukan menggebu-gebu ini,
sesudah rangkaian
demi rangkaian kembang berangkat luruh oleh karena tak ada pot dan
ladang? Sesudah sekian aransemen lagu gagal memasuki irama musik zaman
yang dengan besar kepala hendak diubahnya?
Mungkin anakmu terlalu mendalam melukisi fantasi sorgawinya,
sehingga
gagal memijakkan kaki secara utuh diatas tanah kehidupan yang
bersahaja.
Mungkin anakmu terlalu perduli terhadap kekecewaannya atas
dunia yang berlangsung tidak seperti yang dikehendakinya, padahal siapa
tahu itu tak lebih dari kekecewaannya terhadap dirinya sendiri.
Mungkin anakmu sedang kehabisan kepercayaan tehadap dirinya sendiri. Ibu, Ibu, lihatlah anakmu ternyata hanya
seekor anak ayam.
Seekor anak ayam yang ciap-ciap kedinginan.
Pantas awet sakit jiwanya.
Apakah ia akan mati beku, Bu?
»
Home »
»Puisiku Bukan Menyakitimu Ibu